Friday, 28 January 2011

Korbankan IPO Garuda Demi Rights Issue Mandiri

Proses Initial Public Offering (IPO) saham perdana PT Garuda Indonesia (GI) penuh dengan kejanggalan dan ketidakwajaran. Penetapan harga IPO dikisaran Rp 750 tidak mencerminakan harga pasar. Karenanya, banyak prediksi berseliweran kalau saham perseroan tidak punya prospeks cerah ke depan.
Selain tidak tepat waktu dan market memburuk, Garuda juga tidak didukung dengan kinerja yang menjanjikan. Efeknya, hutang Garuda membengkak dan diperkirakan dalam beberapa tahun ke depan akan tetap berkutat dengan penyelesaian hutang. Di samping itu, industri penerbangan tidak termasuk dalam daftar sektor unggulan. "Ini jelas-jelas dipaksakan. kalau ngomong tataran ideal, saat ini tidak tepat untuk proses IPO," ungkap Billy Budiman, Head of Tecnical Analyst Batavia Presporindo Sekuritas, ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (27/1).
Billy menyebutkan, berkaca pada data dan fakta yang memenuhi manajemen Garuda, adalah tidak menguntungkan untuk mengincar saham garuda sabagai target koleksi. Dalam jangka pendek saham Garuda bukan tujuan utama untuk ladang investasi. "Saya tidak merekomendasikan saham Garuda untuk dikoleksi. Secara tehnikal sebaiknya hindari sebelum terjebak dalam arus ketidakpastian," imbuh Billy.
Tapi sambung Billy, kalau investor masih ngotot untuk mengoleksi saham Garuda juga tidak ada salahnya. Paling tidak saham Garuda kalau dikoleksi dalam jangka waktu satu tahun mendatang bisa menginjak level Rp 1000. Tapi, ungkap Billy itu kalau investor bersabar dan mau menunggu selama kurun waktu tersebut. "Ya, kalau dipaksa masuk, pegang dan tunggu hingga satu tahun, pasti nyampe Rp 1000 dari harga perdana Rp 750," jelas Billy dengan sedikit bercanda.
Proses IPO yang terkesan dipaksakan tidak lepas dari kepentingan pemerintah. Sebab, pemerintah dalam waktu bersamaan menyelenggarakan hajatan yaitu melaksanakan rights issue Bank Mandiri (BMRI). Dengan memaksakan IPO Garuda, justru itu akan membantu melancarkan dan memuluskan rencana besar Rights Issue Mandiri. "IPO Garuda membantu melancarkan dalam penyerapan Rights Issue Mandiri. Dalam hal ini saya melihatnya pemerintah mengorbankan Garuda dengan memaksanya IPO dalam waktu yang jelas tidak tepat," ucap Billy.
Bagaimana tidak dikorbankan sambung Billy, sebelumnya manajemen dan underwriter gembar-gembor kalau permintaan saham IPO Garuda oversubscribed. Keyakinan Garuda tersebut sesuai dengan rumor bakal masuknya investor asing sebagai kolektor utama. Tetapi, setelah pihak asing mengetahui data yang disajikan Garuda, mereka lantas mengurungkan niatnya. "Makanya, asing tidak berminat. Dan, yang kelimpungan underwriternya dengan menyerap sebanyak 57 persen. Bahkan sekarang banyak investor yang ketar-ketir dengan perkembangan terbaru dengan rencana untuk mengembalikan saham yang telah dipesan sebelumnya," tandasnya.
Sebelumnya Edwin Sebayang, Head of Research Analyst Bhakti Sekuritas mengaku terheran-heran dengan fakta proses IPO Garuda. Fakta tersebut bertolak belakang dengan emiten BUMN lainnya, dimana setiap akan melakukan IPO selalu menjadi buruan investor. Tetapi yang terjadi dengan IPO Garuda bertolak belakang. "Ini kejadian aneh tapi nyata. Harga juga tergolong mahal dan tidak menjamin saham Garuda bergerak lincah," tukas Edwin.
Saham perdana Garuda Indonesia dibanderol pada Rp 750 per lembar. Dengan harga itu, Garuda bisa meraup dana sekitar Rp 4,3 triliun. Garuda berniat melepas 5,735 miliar lembar saham setara dengan 26 persen dari total modal ditempatkan dan disetor. Bertindak sebagai penjamin emisi PT Danareksa Sekuritas, PT Mandiri Sekuritas, dan PT Bahana Securities. (*)

No comments:

Post a Comment