Saham perdana Initial Public Offering (IPO) PT Garuda Indonesia dibanderol pada level Rp 750. Penetapan tersebut mengundang spekulasi dikalangan pelaku pasar. Mereka menilai harga itu sebagai bentuk ketidakpercayaan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terhadap kinerja Garuda di lantai bursa. "Ini sebagai bentuk diskon dari pemerintah kepada masyarakat untuk mendapatkan harga murah. Selain itu, pasar sedang tidak bersahabat. Jadi, pemerintah tidak ngotot dengan patokan harga awal dikisaran Rp 1100," ungkap Pardomuan Sihombing, Kepala Riset Recapital Sekuritas ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (26/1).
Keputusan pemerintah itu sambung Pardomuan sudah sesuai dengan ekspektasi pelaku pasar. Pasalnya, banderol harga itu selain tergolong murah masih berada di bawah rata-rata perusahaan airlines regional. Merujuk pada EV/EBITDA industri perusahaan sejenis, saham IPO Garuda sangat potensial dan menjanjikan keuntungan berlipat. "Pastinya, investor senang dengan keputusan pemerintah itu. Saya juga merekomendasikan investor untuk mengoleksinya,” ungkapnya.
Apa ada motif dan tekanan politik sehingga harga Garuda berada di level terendah? Pardomuan mengungkap kemungkinan itu selalu terbuka. Tetapi, untuk melihat ada tidaknyanya motif itu mesti dibuktikan. Lebih tepatnya kata dia, bisa ditanyakan langsung kepada pihak Kementerian BUMN. "Wah, kalau itu wewenang kementerian BUMN. Yang pasti saya garansi investor senang," ulasnya.
Sementara komentar terbalik dilontarkan Willy Sanjaya, Analis Lautandana Sekuritas. Willy menyebutkan penetapan harga itu relative mahal dan tidak punya prospek. Secara fundamental Garuda tidak didukung dengan kinerja terbaik. Bahkan, sepanjang perjalanannya Garuda didera hutang dan pesawat yang digunakan merupakan hasil charteran. "Harus dibedakan Garuda dengan emiten BUMN lain. Kalau emiten BUMN lain bisa berproduksi dan menghasilkan, sementara Garuda tidak berproduksi dan tidak menghasilkan produk. Jadi, akan sangat berisiko untuk mengeloleksi saham perseroan," tutur Willy.
Karenanya sebut Willy, saham Garuda nantinya paling banter akan menjadi saham tidur alias tidak likuid. Kalau sudah demikian, saham itu akan menjadi objek gorengan sejumlah broker dan pelaku pasar untuk menunjukkan saham perseroan seolah-olah aktif dan laik sebagai bidikan koleksi. Apalagi industri dirgantara dalam negeri belum banyak diketahui khalayak. Dan, Garuda satu-satunya emiten yang memberanikan diri menjejakkan kakinya di lantai bursa hanya bermodal nekat. "Secara akal sehat bisa anda bayangkan. Apa yang bisa diandalkan Garuda dengan posisi terbelit hutang dan biaya operasional tersedot untuk bayar charteran pesawat. Investor mau meilirik saham kalau menjanjikan keuntungan, sementara Garuda tidak menjanjikan," ungkap Willy dengan nada meyakinkan.
Karena itu sebut Willy, pihaknya menyarankan untuk menjauhi saham Garuda. Itu penting untuk menghindari kemungkinan terburuk dari kondisi terkini perseroan. Sebaliknya dia menyarankan investor untuk mengalihkan portofolio pada saham PT Krakatau Steel (KRAS). "Jauh lebih menguntungkan KS dari pada Garuda yang dijejali dengan risiko," pungkasnya.
Sekadar diketahui, Kementerian BUMN akhirnya menetapkan harga IPO Garuda dikisaran Rp 750. Penetapan harga tersebut klaim kementerian BUMN sesuai dengan fakta dan data market terkini. Dengan patokan harga itu, pihak kementerian BUMN meyakini saham Garuda akan bergerak lincah di lantai bursa. Apalagi, Garuda satu-satunya emiten dan sekaligus menjadi pioner industri sejenis untuk terjun dan mencatatkan sahamnya di papan pencatatan bursa. (*)
No comments:
Post a Comment