Pencatatan saham perdana (Initial Public Offering/IPO) PT Garuda Indonesia Airlines (GIAA) bakal dilakukan besok. Dengan hajatan itu, perseroan akan mencatatkan diri sebagai emiten satu-satunya dari sektor industri dirgantara yang menjejakkan rodanya di lantai bursa efek indonesia (BEI). Hanya saja, hajatan IPO tersebut tidak berjalan mulus bahkan prosesnya bisa dikatakan berantakan.
Menilik kondisi terkini indeks harga saham gabungan (IHSG), market sedang tidak menaungi langkah perseroan. Ada yang menyebut market tidak memberi sambutan poisitif kehadiran GIAA. Bahkan lebih ekstrim lagi, GIAA dituding sebagai salah satu pemicu penurunan indeks menyusul aksi jual yang dilakukan secara jor-joran investor asing. ”Setahu saya investor asing memang tidak minat atas saham GIAA meski dengan harga diskon sekalipun. Buktinya, saham perdana perseroan masih belum jelas berapa yang tersisa,” ungkap Viviet S Putri, Analis Anugerah Sekurindo Indah Sekuritas, ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (9/2).
Viviet menyebutkan, melihat situasi market yang sedang tidak bersahabat, niat GIAA menuju papan pencatatan bursa digaransi tidak mulus. Belum lagi investor yang bakal berlaku kurang sopan alias resistence dengan performa dan kinerja perseroan. Viviet melanjutkan, harga saham GIAA terlalu mahal dan tidak sesuai dengan kondisi pasar. ”Saya tidak bisa berspekulasi akan kinerja saham perseroan. Tetapi, naga-naganya kurang baik,” ujar Viviet.
Hal senada diungkap Nico J Omer, Vice Prisident Valbury Securities. Nico menjelaskan saham perseroan tidak baik untuk dikoleksi dalam kondisi apapun. Baik jangka panjang dan pendek sama-sama mengandung bahaya dengan tingkat risiko tinggi. Secara operasional, GIAA kurang meyakinkan meski tidak menghindari kenyataan pasar dalam negeri begitu potensial. ”Memang sektor ini tidak menjanjikan. Coba lihat di negara-negara maju, hampir saham penerbangan kurang mendapat respon investor,” ucap Nico.
Lebih lanjut Nico melanjutkan, masyarakat baik asing dan domestik juga tidak begitu bersemangat dengan saham perdana GIAA. Masyarakat sepertinya trauma dengan berbagai kejadian yang menempa indsutri penerbangan belakangan. Masih segar dalam memori investor bangkrut dan kolapnya Mandala Airlines sebagai bukti kongkritnya. Padahal, secara faktual pasar dalam negeri dengan penduduk besar menjadi modal berharga. Tetapi, itu tidak membuat industri itu berjalan sesuai ekspektasi. ”Kan faktanya sudah terlihat. Lebih bahaya lagi, situasi saat ini harga minyak dunia meroket dan itu menjadi konsumsi dan sebagai darah utama operasional GIAA,” imbuh Nico.
Di sisi lain, manajemen GIAA sedang melakukan pembicaraan intensif terkait kelanjutan saham Rp 520 miliar yang tidak bertuan. Bahkan berkembang selintingan di kalangan pelaku pasar, sejatinya saham yang masih belum jelas tersebut lebih besar dari angka tersebut. Untuk angka pastinya mengenai saham yang belum ditebus itu berada sepenuhnya di wilayah Underwriter. ”Saya tidak berani berspekulasi soal saham sisa tersebut. Itu urusan penjamin emisi,” tandas Nico.
Dalam hajatan IPO itu, Garuda melepas sebanyak 6.335.738.000 lembar saham atau setara dengan 26,67 persen. Rencananya, perolehan dana digunakan untuk pembelian pesawat dan pengembangan perusahaan. Tahun ini Garuda berencana menambah 12 pesawat baru yang terdiri atas sembilan B737-800NG dan tiga A330-300.
Sementara itu, manajemen GIAA melakukan pertemuan tertutup. Dalam acara itu, diundang khusus Hermawan Kertajaya sebagai pembicara. Hermawan diundang dalam kapasitasnya untuk memberi pemahaman seputar pemasaran. Di antara mereka juga terlihat Ito Warsito Direktur Utama BEI, Emirsyah Satar Dirut GIAA. (*)
No comments:
Post a Comment