Friday, 25 February 2011

Fluktuatif, Selektif Gunakan Fasilitas Marjin

Transaksi marjin sepanjang Januari 2011 hanya mencapai Rp 12,37 triliun. Transaksi itu mengalami penurunan sebesar 31,17 persen dibanding periode sama tahun lalu dikisaran Rp 17,97 triliun. Merosotnya transaksi marjin tersebut sejalan dengan memburuknya situasi market yang sejak awal tahun ini terus mengalami tekanan.
Rupanya, investor tidak terlalu agresif memanfaatkan fasilitas marjin. Mereka tertahan dan memilih berhati-hati dalam bertransaksi meski persyaratan fasilitas transaksi marjin relative mudah. Tetapi, karena tingkat risiko dirasa lebih tinggi seiring situasi market yang labil, membuat investor tidak berani berspekulasi.
Merujuk data Bursa Efek Indonesia (BEI), rincian total transaksi marjin itu meliputi transaksi marjin beli tercatat Rp 5,79 triliun atau turun sekitar 50,80 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya sebesar Rp 8,74 triliun. Sementara transaksi marjin jual mencapai Rp 6,57 triliun atau melorot sekitar 28,79 persen menjadi Rp 9,23 triliun.
”Sebenarnya, investor sempat punya konfidensi tinggi dengan ramalan-ramalan bakal membaiknya market dan indeks akan meningkat. Tetapi, dalam perjalanannya, situasi tersebut sedikit meleset dari kerangka teoritis sebagaimana digembar-gemborkan,” tukas Gema Merdeka Goeyardi, Analis UOB Kay Hian Securities, ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (25/2).

Bapepam Desak Emiten Pertegas Skema Merger

Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) mendesak manajemen tiga perusahaan tercatat memaparkan skema penggabungan usaha (merger). Ketiga perusahaan itu antara lain PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (Emtek), PT Surya Citra Media Tbk (SCTV), dan PT Indosiar Karya Media Tbk (IDKM). Pasalnya, rencana tersebut telah mencuat dan memengaruhi kondisi market.
”Kita minta mereka untuk menjelaskan rencana merger itu dipertegas. Itu penting untuk menghindari simpangsiur di market,” ungkap Noor Rachman, Kepala Biro PKP Sektor Jasa Bapepam-LK, di Jakarta, Jumat (25/2).
Noor Rachman menjelaskan, pihaknya belum mengetahui detail rencana aksi korporasi dari tiga emiten itu. Termasuk apakah merupakan transaksi material biasa atau bisa berpeluang menjadi transaksi benturan kepentingan. "Detailnya mengenai rencana merger itu belum disampaikan kepada kami,” tambah Noor.

Konfidensi Asing Luruh

Sepanjang pekan ini indeks harga harga saham gabungan (IHSG) dilanda ketidakpastian. Fluktuasi market dan kekhawatiran konflik Timur Tengah (Timteng) menjadi salah satu pemicu anomaly gerakan indeks tersebut. Efeknya, sepanjang pekan itu indeks lebih banyak diwarnai koreksi dengan bumbu aksi jual.
Nuansa serupa sejatinya terjadi sejak awal perdagangan akhir pekan kemarin. Tetapi, untungnya indeks terselamatkan pada menit-menit terakhir. Itu terjadi setelah investor melakukan akumulasi beli pada sejumlah saham unggulan menyusul laporan keuangan yang mereka lansir menunjukkan tanda-tanda positif dan meningkatkan kepercayaan investor.
”Indeks terselamatkan dengan aksi beli yang dilakukan pelaku pasar setelah mendapat kepastian hasil laporan keuangan emiten 2010 sangat baik dan memberi harapan,” ungkap Viviet S Putri, Analis Anugerah Sekurindo Indah, ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (25/2).

Thursday, 24 February 2011

Astra Otoparts Cetak Laba Bersih Rp 1,141 triliun

PT Astra Graphia Tbk (ASGR) sepanjang 2010 mencetak laba bersih Rp 118,41 miliar alais naik 76,78 persen dibanding periode sama tahun lalu dikisaran Rp 66,95 miliar. Pertumbuhan laba didorong peningkatan penjualan perseroan sebesar 17,22 persen menjadi Rp 1,565 triliun dibanding periode sama dilevel Rp 1,335 triliun. Laba kotor perseroan naik 18,87 persen menjadi Rp 456,95 miliar dibanding Rp 384,41 miliar pada 2009.
Seiring meningkatnya penjualan, beban usaha ASGR tercatat naik 9,96 persen menjadi Rp 298,61 miliar dibanding periode sama tahun sebelumnya Rp 271,55 miliar. Setelah dikurangi beban, laba usaha perseroan mencapai Rp 158,33 miliar, naik 40,3 persen dibanding Rp 112,86 miliar pada tahun sebelumnya. Selain itu perseroan memperoleh keuntungan selisih kurs sebesar Rp 1,118 miliar dimana pada periode sama tahun 2009, perseroan rugi kurs Rp 7,48 miliar. Beban bunga ASGR tercatat sebesar Rp 3,38 miliar, turun 80 persen dibanding Rp 16,86 miliar tahun 2009.

Merger, IDKM Tergusur dari Lantai Bursa

Petualangan PT Indosiar Karya Medika Tbk (IDKM) dijagad lantai bursa efek indonesia (BEI) dipastikan berakhir. Itu jika opsi skema penggabungan usaha (merjer) dengan PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) menjadi pilihan utama. Selanjutnya, saham IDKM akan melebur ke dalam saham SCMA pascamerger tersebut rampung.
”Kalau opsinya merger maka kemungkinan besar surviving company adalah saham SCMA,” ungkap Handoko, Direktur Utama Indosiar, di Jakarta, Kamis (23/2).
Artinya, penggabungan usaha dua perusahaan terbuka itu akan menghapus (delisting) saham IDKM, dari lantai bursa. Hanya saja, proses merjer itu masih dalam tahap pembicaraan, apakah struktur yang akan diambil adalah merjer ataukah akuisisi. “Untuk sementara ini mengenai bentuk final soal struktur aksi korporasi belum bisa diungkap. Nantinya, struktur aksi korporasi itu akan disampaikan progressnya kepada otoritas bursa,” imbuh Handoko.

Tuesday, 22 February 2011

Bursa Ancam Sanksi Tiga Emiten

Otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI) mengambil langkah tegas menyusul rencana aksi korporasi PT Indosiar Karya Media Tbk (IDKM) dengan Grup SCTV, yaitu PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) dan PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK). Aksi tiga perusahaan terbuka itu dalam hemat bursa berpotensi mengganggu harmonisasi pasar. Karena itu, dalam jangka tiga hari mendatang mereka akan dipanggil menghadap bursa.
”Kita panggil mereka untuk memberi penjelasan secara faktual tentang rencana yang telah menguap ke pasar tersebut. Ini penting untuk menghindari kemungkinan terburuk yang bisa merugikan pelaku pasar,” ungkap Urif Budhi Prasetyo, Direktur Pengawasan Transaksi dan Anggota Bursa, ketika ditemui di Jakarta, Selasa (22/2).
Urif menyebutkan, ketiga perusahaan tersebut nantinya harus bisa menjelaskan secara detail soal rencana merger yang mereka gagas. Soal lain adalah mengenai bagaimana skema dan mekanisme merger tersebut akan dilakukan. Selain itu, termasuk bagaimana kelanjutan dari nasib perusahaan setelah rencana merger terealisasi. ”Ya, nanti kita minta mereka untuk menjelaskan secara komfrehensif seputar rencana merger itu,” imbuhnya.

Monday, 21 February 2011

Investor Pilih Opsi Defensif

Performa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kurang menggigit. Itu setelah kemarin indeks dipaksa menyudahi perdagangan di zona merah. Indeks pun gagal mempertahankan posisinya dikisaran 3500. "Saya rasa indeks hari ini masih akan bergerak mixed. belum ada sentimen yang benar-benar bisa menggerakkan investor," ungkap Budi Ruseno, analis pasar modal ketika dihubungi di Jakarta, Senin (21/2).
Budi menyebutkan, investor saat ini lebih selektif dalam menatap saham-saham yang laik koleksi. Mereka mengambil jalan moderat tersebut menyusul sepinya sentimen positif. Pada faktanya, investor memilih bertahan sambil mengamati pasar dari jarak dekat. "Buktinya, pada transaksi kemarin relatif menipis. Investor menahan diri," imbuh Budi.
Langkah selectif buying investor tersebut tidak bisa dilepaskan dari situasi terkini. Mulai merebaknya gejolak Timur Tengah (Timteng), kekhawatiran inflasi yang masih membayangi dan belum munculnya laporan keuangan emiten 2010 secara menyeluruh. "Tapi, untungnya indeks global mulai bergerak di teritorial positif. Ini yang membuat pelaku pasar sedikit terangkat konfidensinya," jelas Budi.

Astra Tingkatkan Belanja Modal Rp 11,7 triliun

PT Astra International Tbk (ASII) menyiapkan anggaran belanja modal (capital expenditure/capex) tahun ini sebesar USD 1,3 miliar atau setara Rp 11,7 triliun. Anggaran itu meningkat 44 persen dari anggaran capex tahun lalu sebesar USD 900 juta setara Rp 8,1 triliun. Kenaikan itu untuk memantapkan ekspansi pada seluruh lini usaha perseroan.
Sepanjang 2011, perseroan akan meningkatkan ekspansi pada seluruh lini yang dimiliki. Misalnya, pada sektor otomotif, agribisnis, alat berat, infrastruktur, pembiayaan serta keuangan. Ada beberapa anak usaha yang merencanakan menambah aset melalui mekanisme akuisisi. Namun, mengenai detilnya, masih belum jelas. "Saat ini ada satu,dua di pipe line. Tapi itu nanti saja kami umumkan,” ungkap Prijono Sugiharto, Presiden Direktur ASII, Prijono Sugiharto, di Jakarta, Senin (21/2).
Untuk industri otomotif, Prijono optimistis dapat membukukan pertumbuhan positif meski, 2011 dirasakan sebagai tahun berat. Di mana ASII hingga penghujung tahun membidik target pertumbuhan penjualan unit mobil 5-10 persen. "Kalau tumbuh 5 persen saja, bisa menjadi 800.000 unit mobil," ujar Prijono.

Saham Media Jadi Target Buruan Investor

Peta persaiangan industri media visual bakal memasuki babak baru. Itu sejalan dengan rencana merger PT Indosiar Karya Media Tbk (IDKM) dengan PT Surya Citra Media Tbk (SCMA). Langkah tersebut dipercaya akan menambah aroma persaingan semakin ketat.
Maklum, sebelum kekuatan baru itu muncul, masyarakat telah disuguhi kekuatan media yang telah mapan. Taruhlah misalnya Media Nusantara Citra (MNC) Group yang terdiri dari RCTI, GlobalTv dan TPI yang belakangan berevolusi menjadi MNCTV. Kemudian Viva Media Group yang didalamnya terdiri dari TVOne dan ANTV dan, Transcorporation dengan Trans7 dan TransTV. Nah, kalau rencana merger antara SCTV dan Indosiar mulus, empat kutub kekuatan akan saling berhadap-hadapan.
Praktis dengan fakta itu, hanya tinggal Metro TV dan TVRI yang belum menggalang koalisi. Kedua jaringan ini akan berjuang habis-habisan di tengah gurita empat raksasa lainnya. ”Jelas ini akan menambah gairah dan peta persaingan dalam industri media visual semakin menguat. Mereka akan berlomba menyajikan tayangan terbaik dan berkualitas untuk merebut hati pemirsa yang semakin cerdas,” ungkap Reza Priyambada, analis Asjaya Indosurya Sekuritas, ketika dihubungi di Jakarta, Senin (21/2).

Sunday, 20 February 2011

Investor Abaikan Gejolak Timur Tengah

Pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) diperkirakan masih akan menguat. Posisi indeks yang sudah menyentuh angka 3501 dipercaya sebagai babak baru. Artinya, sepanjang pekan mendatang ini, indeks diramalkan bakal melenggang mulus mencetak rekor baru. "Indeks masih tetap berada pada jalur positif. Tidak ada ganjalan berarti atas perjalanan indeks menuju dan menoreh rekor baru," tandas Cece Ridlwan, Analis Ekocapital Sekuritas, ketika dihubungi di Jakarta, pada penghujung pekan lalu.
Cece menyebutkan, sejatinya sentimen positif masih setia memayungi indeks. Apalagi, berdasar sejumlah laporan keuangan emiten menunjukkan tanda-tanda positif. emiten kecil yang baru melansir laporan keuangan memberi harapan pelaku pasar. Dan, sepertinya hal tersebut akan diikuti dengan positifnya laporan keuangan emiten berkapitalisasi gede macam Astra International (ASII), Telkom (TLKM), Bank Central Asia (BBCA) dan Mandiri (BBRI) serta Bank Rakyat Indonesia (BBRI). "Yang kecil saja membubuhkan laba mencengangkan seperti Bank Danamon (BDMN) apalagi yang besar-besar nanti," imbuh Cece.

Armada Baru, Tak Goda Hasrat Investor Ritel

Langkah agresif dilakukan menajemen PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) pasca hajatan Initial Public Offering/IPO beberapa waktu lalu. Berselang seminggu pasca IPO, manajemen mendatangkan sejumlah armada baru untuk mendongkrak kinerja perseroan. Tindakan itu sekaligus untuk meredam kalang-kabut saham GIAA yang terus tertekan.
”Apapun yang dilakukan manajemen tidak akan mampu menutupi performa buruk saham GIAA. Investor terutama ritel yang sudah kadung sakit hati tidak akan tergoda dengan langkah tersebut,” tutur Billy Budiman, Head of Technical Analyst Batavia Prosperindo Securities, ketika dihubungi di Jakarta, akhir pecan lalu.
Billy menyebutkan, manajemen boleh membusungkan dada dengan apa yang telah dilakukan tersebut. Langkah mendatangkan armada baru bukan hal baru. Artinya, hal tersebut sudah menjadi kewajiban manajemen dalam meningkatkan dan menyajikan pelayanan terbaik. ”Jadi, apanya yang baru dengan aksi mendatangkan armada itu. Itu tidak akan memberi dampak efek turunan bagi investor ritel,” ucap Billy dengan nada tanya.
Investor sambung Billy tidak akan gegabah melihat aksi yang dilakukan GIAA. Paling tindakan investor akan melihat dulu perkembangan selanjutnya pascapenambahan armada baru tersebut. Perlu pembuktian terlebih dahulu apakah penambahan itu berkorelasi dengan laba perseroan. ”Ini karena selektifnya investor dan masih banyak sektor lain yang lebih mengkilap dan menjanjikan peruntungan,” katanya.

Wednesday, 9 February 2011

Default Saham Garuda Rp 520 Miliar

Sementara itu, dua dari tiga underwriter tak berhasil menjajakan saham perdana (Initial Public Offering/IPO) PT Garuda Indonesia (GIAA). Dua penjamin emisi itu masing-masing PT Danareksa Sekuritas (OD), PT Bahana Securities dan satu agen penjual PT BNI Securities. Dengan fakta itu, praktis hanya Mandiri Sekuritas yang hampir sukses memasarkan saham GIAA kepada investor.
Dengan langkah itu, maka PT Danareksa Sekuritas (OD) akan menanggung saham perdana GIAA yang tidak dieksekusi nasabah senilai Rp 200 miliar. Menurut salah seorang pelaku pasar yang terlibat dalam penjualan saham GIAA, nilai tersebut telah menyusut tajam dari posisi pekan lalu senilai Rp 800 miliar.

Market Respon Negatif IPO Garuda

Pencatatan saham perdana (Initial Public Offering/IPO) PT Garuda Indonesia Airlines (GIAA) bakal dilakukan besok. Dengan hajatan itu, perseroan akan mencatatkan diri sebagai emiten satu-satunya dari sektor industri dirgantara yang menjejakkan rodanya di lantai bursa efek indonesia (BEI). Hanya saja, hajatan IPO tersebut tidak berjalan mulus bahkan prosesnya bisa dikatakan berantakan.
Menilik kondisi terkini indeks harga saham gabungan (IHSG), market sedang tidak menaungi langkah perseroan. Ada yang menyebut market tidak memberi sambutan poisitif kehadiran GIAA. Bahkan lebih ekstrim lagi, GIAA dituding sebagai salah satu pemicu penurunan indeks menyusul aksi jual yang dilakukan secara jor-joran investor asing. ”Setahu saya investor asing memang tidak minat atas saham GIAA meski dengan harga diskon sekalipun. Buktinya, saham perdana perseroan masih belum jelas berapa yang tersisa,” ungkap Viviet S Putri, Analis Anugerah Sekurindo Indah Sekuritas, ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (9/2).

Tuesday, 8 February 2011

Asing Tawar Saham GIAA Rp 400 Per Lembar

Hari terakhir penwaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) PT Garuda Indonesia Airlines (GIAA) tetap tidak menarik minat investor. Lokasi penawaran hingga menit-menit terakhir pemesanan kosong- melompong. Situasi tersebut sejatinya sudah terpetakan sejak digebernya proyek masa penawaran 2,4,7 dan 8 Februari lalu.
Penambahan alokasi waktu sehari juga tidak mampu mendongkrak dan memancing investor berebut saham perdana perseroan. Investor memilih tiarap dengan banyak pertimbangan. Mulai dari memburuknya regional market, kinerja yang tidak meyakinkan, hutang yang terus membengkak dan industri penerbangan yang sangat berisiko, menjadi pertimbangan utama investor tidak jor-joran mengoleksi saham GIAA. ”Saya dari awal memang tidak punya minat. Itu sangat berbahaya untuk dijadikan ajang investasi,” ungkap Alex, salah satu investor yang biasa mengoleksi saham IPO.

Monday, 7 February 2011

Saham Garuda Rp 520 Miliar Tak Bertuan

Tenggat waktu penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) PT Garuda Indonesia Airlines (GIAA) tinggal menghitung hari. Tetapi, sejumlah problem tak juga beranjak dari proses penjualan saham perdana burung besi tersebut. Bahkan, persoalan semakin runyam menjelang waktu penutupan berakhir.
Setidaknya dua penjual IPO GIAA mengalami kesulitan menjual saham perdana perusahaan penerbangan BUMN tersebut. Saham IPO yang belum ditebus nilainya mencapai Rp 520 miliar. Seorang pelaku pasar mengatakan, PT Bahana Securities masih menyimpan saham GIAA senilai Rp 500 miliar yang belum ditebus, sedangkan PT BNI Securities sebesar Rp 20 miliar. Tetapi, kabar tersebut dibantah mentah-mentah pihak Bahana Securities. ”Saham GIAA sudah kita alokasikan kepada klien,” ungkap I Gede Suhendra, Manager Corporate Communications & Media Relations Bahana Securities.

Sunday, 6 February 2011

META Maksimalkan Jaringan Tol Lama

PT Nusantara Infrastruktur Tbk (META) akan memaksimalkan sejumlah ruas tol guna menggenjot kinerjanya. Ruas tol itu macam Jakarta-Bumi Serpog Damai (BSD) sepanjang 7,25 km, Bosowa-Makasar (BNM) sepanjang 5,95 km, ruas tol sesi IV (JTSE) sepanjang 11,7 km dan ruas tol Bandara Seksi IV Makassar (11.57km). ”Ya, itu kita maksimalkan sebagai opsi utama dalam mempercantik kinerja,” ungkap Danny Hasan, Direktur Keuangan META, baru-baru ini di Jakarta.
Belum lama ini, META juga mengakuisisi 3.129 saham Margautama Nusantara seniIai Rp 245 miliar. Margautama adalah pemegang 25 persen saham PT Jakarta Lingkar Baratsatu (JLB). Sedangkan JLB merupakan operator ruas jalan tol W1 Kebon Jeruk-Penjaringan, Jakarta. Dari ruas-ruas tol itu, diharapkan bisa memberikan traffic pengguna jalan sebanyak 70-80 juta kendaraan tahun ini. Jumlah itu meningkat 6-21 persen dari jumlah traffic tahun lalu sebanyak 66 juta kendaraan.

BI Rate Cenderung Mengkhawatirkan

Pelaku pasar boleh sedikit bernapas lega dengan kebijakan Bank Indonesia (BI) mencuatkan suku bunga 25 basis points (bps). Dengan skema baru suku bunga acuan (BI Rate) bertengger di level 6,75 persen memantik optimisme baru sekaligus bayang-bayang keraguan. Investor dalam jangka pendek memandang positif tetapi dari sisi jangka panjang masih menyimpan tanda tanya besar.
memang betul kala pengumuman BI Rate dimunculkan pasar langsung bereaksi positif. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mendekam di zona merah langsung rebound. Investor secara reaktif merespon kenaikan tersebut dengan segera melakukan akumulasi portofolio saham.
"Itu kan hanya respon dalam skala terbatas dan jangka pendek. Tidak ada yang bisa diharapkan dari situasi demikian," ungkap Pardomuan Sihombing, Kepala Riset Recapital, ketika dihubungi akhir pekan lalu.

Manajemen GIA Panik, Joki IPO Bergentayangan

Aroma tidak sedap yang menyelimuti penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) PT Garuda Indonesia Airlines (GIA) terus menyeruak. Itu menyusul praktik perjokian saham perdana perseroan dikalangan pelaku pasar juga semakin gencar. Tawaran lewat jalan tikus tersebut semakin intens dilakukan menyusul mipetnya waktu pencatatan saham (Listing).
Guna memuluskan langkahnya itu, joki saham perdana Garuda tidak kehabisan akal. Mereka menebar saham perdana dengan harga lebih murah dari harga yang ditawakan kepada investor. Saham perdana Garuda Indonesia (GRDA) oleh para joki dibanderol dengan harga dikisaran Rp 730 pada grey market, lebih rendah Rp 20 (2,66 persen) dari harga IPO Rp 750 per saham.

Friday, 4 February 2011

Saham Astra Melompat Tajam

PT Astratel Nusantara, anak usaha PT Astra International Tbk (ASII) dikabarkan tengah melakukan due diligence meeting dengan PT Radiant Utama Interinsco Tbk (RUIS). Itu dilakukan sejalan dengan rumor bakal masuknya Astra sebagai pengendali dalam jejaring Radian.
Astra International masuk lewat payung Astratel. Astratel berencana masuk menjadi pengendali baru RUIS melalui rencana rights issue senilai USD 25 juta. Astratel akan tampil sebagai pembeli siaga (standby buyer).
RUIS merupakan perusahaan yang bergerak di sektor jasa migas dan tengah menggarap proyek blok migas di Bukit Barisan. Astratel yang tengah melakukan ekspansi ke sektor energi mengincar proyek tersebut. Usai rights issue, Astratel akan menguasai 60 persen saham RUIS, Value Monetization 6 persen, Radiant Nusa Investama 23,72 persen dan publik 8,78 persen.

Euforia Sesaat Landa Investor

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada awal perdagangan tak berkutik dari zona merah. Posisi itu berbalik setelah pengumuman suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) menanjak 25 basis points (bps) ke level 6,75 persen. Indeks pun sukses menyudahi akhir pekan di areal positif di tengah arus liburan Imlek. ”Ada harapan pelaku pasar atas naiknya suku bunga acuan akan yield yang lebih besar. Makanya, aski beli langsung melambungkan indeks,” tukas David Samual, analis pasar modal ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (4/2).
David menambahkan, dengan naiknya BI rate diharapkan pemerintah juga dapat mengontrol inflasi agar tidak bergerak liar. Investor berharap pemerintah menyiapkan langkah-langkah taktis dalam menangkal inflasi pada bulan-bulan mendatang. Itu penting agar tingkat risiko investasi relatif aman. ”Selanjutnya, aksi pemerintah melokalisir liarnya laju inflasi,” imbuhnya.

Investor Pemula Perburuk Citra Garuda

Investor kawakan memang tidak tertarik dengan saham perdana (Initial Public Offering/IPO) PT Garuda Indonesia Airlines (GIA). Ini bertolak belakang dengan tradisi perusahaan pelat merah yang selalu berkinerja baik. Kondisi ini akan memperburuk citra Garuda sebagai perusahaan kelas A.
”Ya, ini tentu akan mencitrakan negatif langkah Garuda menuju lantai bursa. Apalagi, jejak rekam perseroan tidak meyakinkan di mata investor,” jelas Nico J Omer, Vice President Valburry Securities, ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (4/2).
Nico menyebutkan, penyerapan investor pemula pada saham perdana Garuda bukan pertanda baik. Itu justru menstigma perusahaan berlabel Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kurang baik dimata masyarakat luas terutama investor asing. ”Makanya, investor asing tidak masuk karena kondisinya tidak menjanjikan. Pola investor asing dengan gaya investasi jangka panjang, tidak berani berspekulasi dengan saham Garuda,” imbuhnya.

Wednesday, 2 February 2011

Investor Lokal Apatis Sambut Saham Garuda

Proses penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) yang dibanderol Rp 750 per lembar saham berlangsung monoton. Investor ritel yang mempunyai kesempatan mengoleksi saham perseroan tidak terlihat. Mereka apatis dan kehilangan daya tarik untuk menyerap saham perseroan yang diklaim manajemen murah. Ini kontraproduktif bila dibanding dengan jalannya proses IPO Kraktau Steel (KS) yang begitu dijejali investor.
Kondisi tersebut sebenarnya bukan hal aneh. Jauh hari sebelum digeber masa penawaran, tanda-tandanya sudat terlihat. Mulai proses bookbuilding (pembentukan harga awal), public expose, penetapan harga final yang tertunda dan proses roadshow yang terkesan asal-asalan. Situasi itu semakin parah menyusul memburuknya global market yang tidak mendukung hajatan IPO Garuda menuju lantai bursa.