Thursday, 21 October 2010

Duet SBY-Budiono Gagal Kelola Harapan Masyarakat


Performa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wapres Budiono tidak sesuai ekspektasi masyarakat. Sejumlah pencapaian yang ditorehkan pada fase pertama tidak menular dalam edisi setahun terakhir. Sebaliknya, duet kepemimpinan SBY-Budiono menampakkan wajah kurang sedap dan monoton. Itu setelah serangkaian problem pelik dan suara ketidakpuasan mencuat kepermukaan.

Efeknya bisa ditebak. Bukan kemakmuran yang merebak disekujur tubuh anak negeri. Tetapi, prahara dan ketimpangan yang mendera. Masyarakat yang tidak tahan dengan kondisi tersebut tidak bisa berdamai lagi. Lebih-lebih kalangan pengusaha. Sebagai pelaku usaha dan bergelut dengan sektor riil, mereka memvonis pemerintah gagal mengangkat dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Parahnya, pelaku usaha terbebani dengan biaya tinggi yang terus membengkak.

”Pemerintah telah gagal membidani ekonomi yang diharapkan. Masyarakat justru dihadapkan pada fakta biaya-biaya yang terus memberatkan. Kalau kondisi ini tidak segera diatasi, sampai suksesi kepemimpinan selanjutnya akan jalan ditempat,” ungkap Sofjan Wanandi, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), ketika dihubungi di Jakarta, Kamis (21/10).

Sofjan menyebutkan reshuffle bukan barang langka. Itu mesti dilakukan dengan menempatkan orang-orang yang tepat dan profesional. Kebijakan yang benar-benar solutif dan menyentuh persoalan masyarakat secara mendasar harus di kedepankan. Sebab, problem yang dihadapi masyarakat sudah sangat kronis. Tidak ada artinya, angka statistik dimajukan untuk menunjukkan pertumbuhan ekonomi. Karena sejatinya, pertumbuhan ekonomi tersebut terefleksi dari daya beli masyarakat yang terus menanjak. ”Persaingan global membutuhkan sikap yang jelas dan tegas,” imbuh Sofjan.

Gerak cepat pemerintah tersebut sambung Sofjan, tidak bisa ditawar. Membangun infrastruktur yang masih amburadul. Pemebenahan di sektor infrastruktur tersebut lebih mendesak dari pada kampanye mengundang investor datang. Sebab, tanpa menyediakan infrastruktur yang rapi, mustahil investor akan datang. ”Ini soal infrastruktur belum ada ujung. Efeknya, pelaku usaha terus menanggung biaya siluman,” jelasnya.

Selanjutnya sebut Sofjan menyelesaikan undang-undang pertanahan. Ini penting untuk segera dituntaskan terkait dengan pembebasan tanah untuk infrastruktur. Tanpa percepatan undang-undang tersebut situasinya tidak akan banyak mengalami perubahan. ”Kemudian adalah singkronisasi kebijakan pemerintah dan daerah. Selama ini kan tumpang tindih. Pusat dan daerah jalan sendiri-sendiri,” tukas Sofjan.

Memang sebut Sofjan, kondisi sekarang 70 persen masyarakat diterpa kemiskinan dengan subsidi mencapai Rp 200 triliun. Kondisi itu jelas tidak sehat. Pemerintah harus tersadar dari kondisi semu dengan membaiknya pasar modal yang terus menanjak. ”Itu spekulasi dan tidak mencerminkan fakta dilapangan,” ulasnya.

”Semuanya kembali pada kepemimpinan duet SBY-Budiono. Berani tidak, SBY menyatakan fakta sebenarnya kepada masyarakat. Jangan terjebak pada proyeksi angka-angka yang tidak merefleksikan kemakmuran masyarakat,” tambah Yanuar Rizky, pengamat ekonomi ketika dihubungi terpisah.

Yanuar menyebut bukan saatnya lagi SBY menerapkan politik pencitraan. Pemerintah harus keluar dari selubung kepentingan politik dan semacamnya. Perekonomian membutuhkan ketegasan dan langkah pasti. Angka-angka kemakmuran yang selama ini selalu diagung-agungkan, jauh dari fakta riil dilapangan. ”Pemerintah senang melihat Indeks Harga Saham gabungan (IHSG) naik terus. Padahal, itu tidak mencerminkan dan hanya merefleksikan 0,21 persen perekonomian masyarakat. Masyarakat tetap berkutat mencari utangan untuk bisa bertahan hidup,” tukas Yanuar.

”Sekali lagi saya katakana SBY harus melihat dan mengambil sikap dengan persoalan masyarakat. Selanjutnya, memperaktikkan kebijakan yang diambil tersebut menjadi fakta yang sesuai ekspektasi masyarakat,” pungkasnya. (*)

No comments:

Post a Comment