Perhatian pelaku pasar tersedot pada sidang Federal Open Market Committee (FOMC). Sidang yang berlangsung Rabu (10/8) dini hari itu bakal mengubah peta market global. Kalau kebijakan yang dihasilkan sesuai ekspektasi pasar tentu akan berdampak positif. Tetapi, jika menghasilkan keputusan kontra bakal mendapat perlawanan investor.
Tentu dampak kebijakan negatif tidak diharap pelaku pasar. Sebab, hal itu akan memuluskan kondisi ekonomi menuju gerbang resesi global. Yang jelas, spekulasi santer beredar dikalangan pelaku pasar bahwa The Federal Reserve bakal mengambil kebijakan Quantitative Easing (QE) jilid III. Keputusan QE3 itu diambil guna menggairahkan ekonomi Amerika Serikat (AS). "Pasar tengah menanti hasil keputusan The Fed apakah akan memberlakukan kebijakan QE3 atau tidak. Keputusan itu dapat membawa sentimen tersendiri bagi pasar modal global," ucap Jeff Tan, analis Sinarmas Sekuritas di Jakarta, Selasa (9/8).
Keputusan The Fed melancarkan QE3 sejatinya sangat krusial bagi masa depan ekonomi negeri Paman Sam tersebut. Dengan kebijakan itu, The Fed bakal menyerap obligasi pemerintah AS. Setidaknya sekitar 70 persen obligasi itu akan diambil The Fed. Sebab, diakui atau tidak sejumlah negara tetangga tidak tertarik dengan surat utang yang dimunculkan. Itu menyusul keseksian dollar mulai luruh karena stoknya melimpah.
Berkaca pada kebijakan QE1 dan QE2, negara dengan koleksi obligasi pemerintah AS terbesar adalah China senilai USD 1,2 triliun dan Jepang USD 900 miliar. Kedua negara ini, sepertinya kurang sreg dengan obligasi lanjutan yang akan diterbitkan negeri pimpinan Barrack Obama tersebut. Hanya saja, kedua negara itu mendukung sejumlah kebijakan AS untuk melokalisir dampak krisis finansial yang sedang berkecamuk.
Sejumlah pengamat menengarahi, kalau AS mengambil keputusan QE3 bakal menguntungkan negara-negara emerging market. Dana asing akan mengalir deras ke negara-negara berkembang. Itu karena lebih menjanjikan keuntungan berlebih dibanding tetap berinvestasi di AS.
Sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan Selasa (9/8) ditutup anjlok 155,147 poin (3,00 persen) ke level 3.735,119. Indeks LQ45 ambruk 21,432 poin (3,14 persen) ke posisi 660.514. Meski finis di zona merah, indeks sempat memberi kejutan setelah mencetak rebound tipis sekitar 27 poin ke level 3.873,545. Perburuan saham-saham unggulan membuat indeks mampir ke zona hijau. Kepanikan investor mulai reda dengan aksi beli selektif pada saham murah. Namun, tekanan jual pada saham tambang memaksa Indeks kembali jatuh ke teritori negatif.
Menurut Jeff, indeks menyentuh zona hijau menunjukkan kepercayaan pada fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat. Hanya untuk jangka pendek, pelaku pasar tidak akan lepas memburuknya bursa global. "Tetapi peluang untuk kembali melihat pada fundamental perusahaan Indonesia tetap ada di saat kepanikan mereda," imbuhnya.
Pada perdagangan kemarin tekanan jual datang dari investor lokal dan asing. Transaksi investor asing tercatat melakukan penjualan bersih (foreign net sell) dengan jumlah cukup besar, senilai Rp 952,497 miliar pada seluruh pasar. Perdagangan berjalan ramai dengan frekuensi transaksi mencapai 223.733 kali pada volume 10,138 miliar lembar saham senilai Rp 9,464 triliun. Sebanyak 35 saham naik, sisanya 255 saham turun, dan 40 saham stagnan.
Di regional, pelemahan bursa-bursa tampaknya juga mulai mereda. Indeks Komposit Shanghai turun tipis 0,75 poin (0,03 persen) ke level 2.526,07, Indeks Hang Seng melemah 1.159,87 poin (5,66 persen) ke level 19.330,70, Indeks Nikkei 225 tergerus 153,08 poin (1,68 persen) ke level 8.944,48 dan Indeks Kospi turun 68,10 poin (3,64 persen) ke level 1.801,35.
Jeff menilai, komitmen kelompok negara G-20 dan G-7 untuk menjaga likuiditas pasar telah memberikan sedikit kenyamanan bagi investor global. Para Menkeu dan Gubernur bank sentral negara G-20 menyatakan akan mengambil semua langkah yang dianggap perlu untuk mendukung stabilitas finansial, pertumbuhan dan likuiditas. Negara G-7 yang terdiri dari Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris dan AS akan mengambil langkah bersama untuk meredam gejolak di pasar nilai tukar. Sebab, gejolak saat ini mempengaruhi stabilitas ekonomi dan finansial.
Sementara itu Bank Sentral Eropa (CB) telah menyatakan siap membantu Italia dan Spanyol. ECB akan membeli obligasi Italia dan Spanyol yang jumlahnya diperkirakan mencapai Euro 700 juta. Langkah itu dilakukan untuk meredam gejolak yang terjadi di kawasan Eropa. Lembaga pemeringkat utang Standard & Poor's (S&P) Ratings Services dalam siaran pers yang dipublikasikan Senin (8/8) menyebut tidak ada dampak langsung dari penurunan peringkat utang obligasi AS terhadap peringkat obligasi di negara-negara Asia Pasifik. "Kebijakan-kebijakan itu setidaknya telah menahan kejatuhan pasar modal lebih dalam," bunyi pernyataan itu. (*)
No comments:
Post a Comment